BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Pada Tahun 1998
Indonesia mengalami masa yang sangat sulit karena pada saat itu terjadi krisis
moneter yang berimbas pada dunia industri. Hal ini membuat beberapa badan usaha
milik swasta maupun pemerintah melakukan Pemutusan Hubungan kerja atau yang
sering disebut dengan PHK. Langkah ini terpaksa dilakukan karena salah satu
alasannya adalah perusahaan mengalami kerugian yang tidak sedikit, sementara
perusahaan mempunyai kewajiban untuk memberikan upah kepada pegawainya.
Pemutusan
Hubungan Kerja merupakan suatu hal yang pada beberapa tahun yang lalu merupakan
suatu kegiatan yang sangat ditakuti oleh karyawan yang masih aktif bekerja. Hal
ini dikarenakan kondisi kehidupan politik yang goyah, kemudian disusul dengan
carut marutnya kondisi perekonomian yang berdampak pada banyak industri yang
harus gulung tikar, dan tentu saja berdampak pada pemutusan hubungan kerja yang
dilakukan dengan sangat tidak terencana. Kondisi inilah yang menyebabkan orang
yang bekerja pada waktu itu selalu dibayangi kekhawatiran dan kecemasan, kapan
giliran dirinya diberhentikan dari pekerjaan yang menjadi penopang hidup
keluarganya.
1.2
RUMUSAN MASALAH
Dalam tugas ini, saya yang membahas mengenai masalah Pemutusan Hubungan Kerja, didapatkan rumusan
masalah yang akan dibahas dalam analisis permasalahan. Rumusan masalah tersebut
adalah sebagai berikut :
·
Apa Definisi
dari Pemutusan Hubungan kerja (PHK) ?
·
Jelaskan
Jenis-jenis Pemutusan Hubungan kerja (PHK) ?
·
Jelaskan
Mekanisme dan Penyelesaian Pemutusan Hubungan kerja (PHK) ?
·
Bagaimana
bentuk Penyelesaian Kompensasi PHK ?
1.3
MAKSUD
DAN TUJUAN
Adapun maksud dan tujuan dibuatnya makalah yang
membahas tentang pemutusan hubungan
kerja
ini adalah sebagai berikut :
1.
Mengetahui
dengan jelas definisi dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
2.
Mengetahui
Jenis-jenis dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
3.
Mengetahui
Mekanisme pemberian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada karyawan dan cara penyelesaian perselisihan yang akan timbul
setelah Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan.
4.
Mengetahui
Bentuk dari pemberian Kompensasi kepada karyawan yang akan mendapatkan Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) dari
perusahaan.
1.4
METODE PENULISAN
1.
OBJEK PENULISAN
Objek penulisan dalam tugas ini adalah
pengertian dan permasalahan mengenai pemutusan hubungan kerja.
2.
METODE
PENGUMPULAN DATA
Dalam pembuatan makalah ini, metode
pengumpulan data yang digunakan adalah kaji pustaka terhadap bahan-bahan
perpustakaan yang sesuai dengan permasalahan yang diangkat dalam makalah ini
yaitu masalah mengenai pemutusan
hubungan kerja. Sebagai referensi juga diperoleh dari berbagai
media baik dari televisi, koran, dan media informasi yang membahas mengenai pemutusan hubungan kerja.
3.
METODE
ANALISIS
Penyusunan makalah ini berdasarkan metode deskriptif
analistis, yaitu mengidentifikasi permasalahan berdasarkan fakta dan data yang
ada, dan dengan data pendukung lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
PENGERTIAN
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
(PHK)
PHK adalah
pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara karyawan dan perusahaan. Apabila kita mendengar istilah
PHK, yang biasa terlintas adalah pemecatan sepihak oleh pihak perusahaan karena
kesalahan karyawan. Karenanya, selama ini singkatan PHK memiliki konotasi
negatif. Padahal, kalau kita tilik definisi di atas yang diambil dari UU No.
13/2003 tentang Ketenagakerjaan, dijelaskan Pemutusan Hubungan kerja dapat
terjadi karena bermacam sebab. Intinya tidak persis sama dengan pengertian
dipecat.
Tergantung
alasannya, Pemutusan Hubungan kerja mungkin membutuhkan penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI)
mungkin juga tidak. Meski begitu, dalam praktek tidak semua Pemutusan Hubungan
kerja yang butuh penetapan dilaporkan kepada instansi ketenagakerjaan, baik
karena tidak perlu ada penetapan, Pemutusan Hubungan kerja tidak berujung
sengketa hukum, atau karena karyawan tidak mengetahui hak mereka.
2.1.1
Pengadilan
Hubungan Industrial
Pihak yang menolak anjuran mediator/konsiliator, dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Pengadilan ini
untuk pertamakalinya didirikan di tiap ibukota provinsi. Nantinya, PHI juga
akan didirikan di tiap kabupaten/ kota. Tugas pengadilan ini antara lain
mengadili perkara perselisihan hubungan industrial, termasuk perselisihan
Pemutusan Hubungan Kerja, serta menerima permohonan dan melakukan eksekusi
terhadap Perjanjian Bersama yang dilanggar.
Selain mengadili Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja,
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) mengadili jenis perselisihan lainnya:
Perselisihan yang timbul akibat adanya perselisihan hak, perselisihan
kepentingan dan perselisihan antar serikat karyawan.
Sebelum Pengadilan Hubungan Industrial berdiri pada
2006, perselisihan hubungan Industrial masih ditangani pemerintah lewat Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat
(P4P) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah
(P4D) serta Pengadilan
Tata Usaha Negara.
2.2
JENIS - JENIS PEMUTUSAN
HUBUNGAN KERJA
2.2.1
Pemutusan Hubungan kerja Pada Kondisi Normal (Sukarela)
Dalam kondisi normal,
pemutusan hubungan kerja akan menghasilkan sesuatu keadaan yang sangat
membahagiakan. Setelah menjalankan tugas dan melakukan peran sesuai dengan
tuntutan perusahaan, dan pengabdian kepada perusahaan maka tiba saatnya
seseorang untuk memperoleh penghargaan yang tinggi atas jerih payah dan
usahanya tersebut.
Akan tetapi hal
ini tidak terpisah dari bagaimana pengalaman bekerja dan tingkat kepuasan kerja
seseorang selama memainkan peran yang dipercayakan kepadanya. Ketika seseorang
mengalami kepuasan yang tinggi pada pekerjaannya, maka masa pensiun ini harus
dinilai positif, artinya ia harus ikhlas melepaskan segala atribut dan
kebanggaan yang disandangnya selama melaksanakan tugas, dan bersiap untuk
memasuki masa kehidupan yang tanpa peran.
Kondisi yang
demikian memungkinkan pula munculnya perasaan sayang untuk melepaskan jabatan
yang telah digelutinya hampir lebih separuh hidupnya. Ketika seseorang
mengalami peran dan perlakuan yang tidak nyaman, tidak memuaskan selama masa
pengabdiannya, maka ia akan berharap segera untuk melepaskan dan meninggalkan
pekerjaan yang digelutinya dengan susah payah selama ini. Orang ini akan
memasuki masa pensiun dengan perasaan yang sedikit lega, terlepas dari himpitan
yang dirasakannya selama ini.
Selain itu ada
juga karyawan yang mengundurkan diri. Karyawan dapat mengajukan pengunduran
diri kepada perusahaan secara tertulis tanpa paksaan/intimidasi. Terdapat
berbagai macam alasan pengunduran diri, seperti pindah ke tempat lain, berhenti
dengan alasan pribadi, dan lain-lain. Untuk mengundurkan diri, karyawan harus
memenuhi syarat : (a) mengajukan permohonan selambatnya 30 hari sebelumnya, (b)
tidak ada ikatan dinas, (c) tetap melaksanakan kewajiban sampai mengundurkan
diri.
Undang-undang
melarang perusahaan memaksa karyawannya untuk mengundurkan diri. Namun dalam
prakteknya, pengunduran diri kadang diminta oleh pihak perusahaan. Kadang kala,
pengunduran diri yang tidak sepenuhnya sukarela ini merupakan solusi terbaik
bagi karyawan maupun perusahaan. Di satu sisi, reputasi karyawan tetap terjaga.
Di sisi lain perusahaan tidak perlu mengeluarkan pesangon lebih besar apabila
perusahaan harus melakukan Pemutusan Hubungan kerja tanpa ada persetujuan
karyawan. Perusahaan dan karyawan juga dapat membahas besaran pesangon yang disepakati.
Karyawan yang mengajukan pengunduran diri hanya berhak
atas kompensasi seperti sisa cuti yang masih ada, biaya perumahan serta
pengobatan dan perawatan, dll sesuai Pasal 156 (4). Karyawan mungkin
mendapatakan lebih bila diatur lain lewat perjanjian. Untuk biaya perumahan
terdapat silang pendapat antara karyawan dan perusahaan, terkait apakah
karyawan yang mengundurkan diri berhak atas 15% dari uang pesangon dan
penghargaan masa kerja.
2.2.2
Pemutusan Hubungan kerja Pada Kondisi Tidak Normal (Tidak Sukarela)
Perkembangan suatu perusahaan ditentukan oleh lingkungan
dimana perusahaan beroperasi dan memperoleh dukungan agar dirinya tetap dapat
survive (Robbins, 1984). Tuntutan yang berasal dari dalam (inside stakeholder)
maupun tuntutan dari luar (outside stakeholder) dapat memaksa perusahaan
melakukan perubahan-perubahan, termasuk di dalam penggunaan tenaga kerja.
Dampak dari perubahan komposisi sumber daya manusia ini antara lain ialah
pemutusan hubungan kerja. Pada dewasa ini tuntutan lebih banyak berasal dari
kondisi ekonomi dan politik global, perubahan nilai tukar uang yang pada
gilirannya mempersulit pemasaran suatu produk di luar negeri, dan berimbas pada
kemampuan menjual barang yang sudah jadi, sehingga mengancam proses produksi.
Kondisi yang demikian akan mempersulit suatu perusahaan mempertahankan
kelangsungan pekerjaan bagi karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut. Hal
ini berdampak pada semakin seringnya terjadi kasus pemutusan hubungan kerja.
Manulang (1988) mengemukakan bahwa istilah pemutusan
hubungan kerja dapat memberikan beberapa pengertian, yaitu :
1. Termination: yaitu
putusnya hubungan kerja karena selesainya atau berakhirnya kontrak kerja yang
telah disepakati. Berakhirnya kontrak, bilamana tidak terdapat kesepakatan
antara karyawan dengan manajemen, maka karyawan harus meninggalkan
pekerjaannya.
2. Dismissal: yaitu
putusnya hubungan kerja karena karyawan melakukan Tindakan pelanggaran disiplin
yang telah ditetapkan. Misalnya : karyawan melakukan kesalahan-kesalahan,
seperti mengkonsumsi alkohol atau obat-obat psikotropika, madat, melakukan
tindak kejahatan, merusak perlengkapan kerja milik pabrik.
3. Redundancy, yaitu
pemutusan hubungan kerja karena perusahaan melakukan pengembangan dengan
menggunakan mesin-mesin berteknologi baru, seperti : penggunaan robot-robot
industri dalam proses produksi, penggunaan alat-alat berat yang cukup
dioperasikan oleh satu atau dua orang untuk menggantikan sejumlah tenaga kerja.
Hal ini berdampak pada pengurangan tenaga kerja.
4. Retrenchment, yaitu pemutusan
hubungan kerja yang dikaitkan dengan masalah-masalah ekonomi, seperti resesi
ekonomi, masalah pemasaran, sehingga perusahaan tidak mampu untuk memberikan
upah kepada karyawannya.
Flippo (1981) membedakan pemutusan hubungan kerja di luar
konteks pensiun menjadi 3 kategori, yaitu :
1. Layoff, keputusan ini
akan menjadi kenyataan ketika seorang karyawan yang benar-benar memiliki
kualifikasi yang membanggakan harus dipurnatugaskan karena perusahaan tidak
lagi membutuhkan sumbangan jasanya.
2. Outplacement, ialah
kegiatan pemutusan hubungan kerja disebabkan perusahaan ingin mengurangi banyak
tenaga kerja, baik tenaga profesional, manajerial, maupun tenaga pelaksana
biasa. Pada umumnya perusahaan melakukan kebijakan ini untuk mengurangi
karyawan yang performansinya tidak memuaskan, orang-orang yang tingkat upahnya
telah melampaui batas-batas yang dimungkinkan, dan orang-orang yang dianggap
kurang memiliki kompetensi kerja, serta orang-orang yang kurang memiliki
kemampuan yang dapat dikembangkan untuk posisi di masa mendatang. Dasar dari
kegiatan ini ialah kenyataan bahwa perusahaan mempunyai tenaga kerja yang
skillnya masih dapat dijual kepada perusahaan lain, dan sejauh mana kebutuhan
pasar terhadap keahlian atau skill ini masih tersembunyi.
3. Discharge, kegiatan ini
merupakan kegiatan yang menimbulkan perasaan paling tidak nyaman di antara
beberapa metode pemutusan hubungan kerja yang ada. Kegiatan ini dilakukan
berdasar pada kenyataan bahwa karyawan kurang mempunyai sikap dan perilaku
kerja yang memuaskan.
Karyawan yang mengalami jenis pemutusan hubungan kerja
ini kemungkinan besar akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan baru
di tempat atau perusahaan lain. Dari dua pengertian tersebut di atas, nampaknya
masalah pemutusan hubungan kerja, penyebabnya dapat disebabkan oleh dua pihak.
Baik penyebab yang berasal dari kualifikasi, sikap dan
perilaku karyawan yang tidak memuaskan, atau penyebab yang berasal dari pihak
manajemen yang seharusnya dengan keahliannya dan kewenangan yang diserahkan
kepadanya diharapkan mampu mengembangkan perusahaan, walau dalam kenyataannya
menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi perusahaan, dan harus mengambil keputusan
untuk efisiensi tenaga kerja.
2.3
MEKANISME DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Mekanisme perselisihan Pemutusan Hubungan kerja beragam
dan berjenjang.
2.3.1
Mekanisme Pemutusan Hubungan kerja
Karyawan, pengusaha dan pemerintah wajib untuk melakukan
segala upaya untuk menghindari Pemutusan Hubungan kerja. Apabila tidak ada
kesepakatan antara pengusaha karyawan/serikatnya, Pemutusan Hubungan kerja
hanya dapat dilakukan oleh pengusaha setelah memperoleh penetapan Lembaga
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI).
Selain karena pengunduran diri dan hal-hal tertentu
dibawah ini, Pemutusan Hubungan kerja harus dilakukan melalui penetapan Lembaga
Penyelesaian Hubungan Industrial (LPPHI). Hal-hal tersebut adalah :
1.
Karyawan masih dalam masa percobaan
kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya.
2.
Karyawan mengajukan permintaan
pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi
adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai
dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali.
3.
Karyawan mencapai usia pensiun sesuai
dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja
bersama, atau peraturan perundang-undangan.
4.
Karyawan meninggal dunia.
5.
Karyawan ditahan.
6.
Pengusaha tidak terbukti melakukan
pelanggaran yang dituduhkan karyawan melakukan permohonan Pemutusan Hubungan
kerja.
7.
Selama belum ada penetapan dari LPPHI,
karyawan dan pengusaha harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. Sambil
menunggu penetapan, pengusaha dapat melakukan skorsing, dengan tetap membayar
hak-hak karyawan.
2.3.2 Perselisihan
Pemutusan Hubungan kerja
Perselisihan Pemutusan Hubungan kerja termasuk kategori
perselisihan hubungan industrial bersama perselisihan hak, perselisihan
kepentingan dan perselisihan antar serikat karyawan. Perselisihan Pemutusan
Hubungan kerja timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat antara karyawan
dan pengusaha mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan salah satu
pihak. Perselisihan Pemutusan Hubungan kerja antara lain mengenai sah atau
tidaknya alasan Pemutusan Hubungan kerja, dan besaran kompensasi atas Pemutusan
Hubungan kerja.
2.4
PENYELESAIAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN
HUBUNGAN KERJA
Perundingan Bipartit adalah forum perundingan dua kaki
antar pengusaha dan karyawan atau serikatpe kerja. Kedua belah pihak diharapkan
dapat mencapai kesepakatan dalam penyelesaian masalah mereka, sebagai langkah
awal dalam penyelesaian perselisihan.
Dalam perundingan ini, harus dibuat risalah yang
ditandatangai para Pihak. isi risalah diatur dalam Pasal 6 Ayat 2 UU PPHI.
Apabila tercapai kesepakatan maka Para pihak membuat Perjanjian Bersama yang
mereka tandatangani. Kemudian Perjanjian Bersama ini didaftarkan pada PHI
wilayah oleh para pihak ditempat Perjanjian Bersama dilakukan. Perlkunya
menddaftarkan perjanjian bersama, ialah untuk menghindari kemungkinan slah satu
pihak ingkar. Bila hal ini terjadi, pihak yang dirugikan dapat mengajukan
permohonan eksekusi.
Apabila gagal dicapai kesepakatan, maka karyawan dan
pengusaha mungkin harus menghadapi prosedur penyelesaian yang panjang melalui
Perundingan Tripartit.
2.4.2
Perundingan
Tripartit
Dalam pengaturan UUK, terdapat tiga forum penyelesaian
yang dapat dipilih oleh para pihak:
Forum Mediasi
difasilitasi oleh institusi ketenagakerjaan. Dinas tenagakerja kemudian
menunjuk mediator. Mediator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta
kesepakatan antar keduanya. Dalam hal tercipta kesepakatan para pihak membuta
perjanjian bersama dengan disaksikan oleh mediator. Bila tidak dicapai
kesepakatan, mediator akan mengeluarkan anjuran.
Forum
Konsiliasi dipimpin oleh konsiliator yang ditunjuk oleh para pihak. Seperti
mediator, Konsiliator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta
kesepakatan antar keduanya. Bila tidak dicapai kesepakatan, Konsiliator juga
mengeluarkan produk berupa anjuran.
Lain dengan
produk Mediasi dan Konsiliasi yang berupa anjuran dan tidak mengikat, putusan
arbitrase mengikat para pihak. Satu-satunya langkah bagi pihak yang menolak
putusan tersebut ialah permohonan Pembatalan ke Mahkamah Agung. Karena adanya
kewajiban membayar arbiter, mekanisme arbitrase kurang populer.
Pihak yang menolak Putusan PHI soal Perselisihan Pemutusan
Hubungan kerja dapat langsung mengajukan kasasi (tidak melalui banding) atas
perkara tersebut ke Mahkamah Agung, untuk diputus.
2.5
KOMPENSASI PEMUTUSAN
HUBUNGAN KERJA
Dalam hal terjadi pemutusan hubungan
kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon (UP) dan atau uang
penghargaan masa kerja (UPMK) dan uang penggantian hak (UPH) yang seharusnya
diterima. UP, UPMK, dan UPH dihitung berdasarkan upah karyawan dan masa
kerjanya.
Perhitungan Uang Pesangon (UP)
paling sedikit sebagai berikut :
Masa Kerja Uang Pesangon
Masa Kerja Uang Pesangon
·
Masa
kerja kurang dari 1 tahun, 1 bulan upah.
·
Masa
kerja 1 - 2 tahun, 2 bulan upah.
·
Masa
kerja 2 - 3 tahun, 3 bulan upah.
·
Masa
kerja 3 - 4 tahun,
4 bulan upah.
·
Masa
kerja 4 - 5 tahun,
5 bulan upah.
·
Masa
kerja 5 - 6 tahun,
6 bulan upah.
·
Masa
kerja 6 - 7 tahun,
7 bulan upah.
·
Masa
kerja 7 – 8 tahun, 8 bulan upah.
·
Masa
kerja 8 tahun atau lebih, 9 bulan upah.
Perhitungan
uang penghargaan masa kerja (UPMK) ditetapkan sebagai berikut :
Masa Kerja UPMK
·
Masa
kerja 3 - 6 tahun 2 bulan upah.
·
Masa
kerja 6 - 9 tahun 3 bulan upah.
·
Masa
kerja 9 - 12 tahun 4 bulan upah.
·
Masa
kerja 12 - 15 tahun 5 bulan upah.
·
Masa
kerja 15 - 18 tahun 6 bulan upah.
·
Masa
kerja 18 - 21 tahun 7 bulan upah.
·
Masa
kerja 21 - 24 tahun 8 bulan upah.
·
Masa
kerja 24 tahun lebih 10 bulan upah.
Uang
penggantian hak
yang seharusnya diterima (UPH) meliputi :
·
Cuti
tahunan yang belum diambil dan belum gugur.
·
Biaya
atau ongkos pulang untuk karyawan/buruh dan keluarganya ketempat dimana
karyawan/buruh diterima bekerja.
·
Penggantian
perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon
dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat.
·
Hal-hal
lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
BAB III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Pemutusan Hubungan kerja sebagai manifestasi pensiun yang dilaksanakan pada kondisi
tidak normal nampaknya masih merupakan ancaman yang mencemaskan karyawan. Dunia
industri negara maju yang masih saja mencari upah buruh yang murah, senantiasa
berusaha menempatkan investasinya di negara-negara yang lebih menjanjikan
keuntungan yang besar, walaupun harus menutup dan merelokasi atau memindahkan
pabriknya ke Negara lain.
Keadaan
ini tentu saja berdampak Pemutusan Hubungan kerja pada karyawan di negara yang
ditinggalkan. Efisiensi yang diberlakukan oleh perusahaan pada dewasa ini,
merupakan jawaban atas penambahan posisi-posisi yang tidak perlu di masa lalu,
sehingga dilihat secara struktur organisasi, maka terjadi penggelembungan yang
sangat besar. Ketika tuntutan efisiensi harus dipenuhi, maka restrukturisasi
merupakan jawabannya. Di sini tentu saja terjadi pemangkasan posisi
besar-besaran, sehingga Pemutusan Hubungan kerja masih belum dapat dihindarkan.
Ketika
perekonomian dunia masih belum adil, dan program efisiensi yang dilakukan oleh
para manajer terus digulirkan, maka Pemutusan Hubungan kerja masih merupakan fenomena yang
sangat mencemaskan, dan harus diantisipasi dengan penyediaan lapangan kerja dan
pelatihan ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat (mantan
karyawan).
3.2
SARAN
Adapun
saran yang dapat saya
berikan dalam makalah ini adalah, hendaknya dalam melakukan Pemutusan hubungan
kerja harus sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berlaku di
Indonesia agar tidak akan ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Flippo, E.B., 1984. Personnel
Management. 5th edition. Sydney: McGrawHill International Book Company.
2. Manulang, S. H. 1988. Pokok-Pokok
Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia.
Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
3. Kumara, A., Utami, M.S., Rosyid,
H.F., 2003. Strategi Mengoptimalkan Diri, Balai Pustaka, Jakarta.
|
H a l a m a n P e n g e s a h a n
No.
|
N A M A
|
N I M
|
TANDA TANGAN
|
1.
|
PRAWIRA
NUGRAHA SURYA
|
EAA
111 0126
|
|
|
HUKUM
PERBURUHAN / KETENAGAKERJAAN
PEMUTUSAN
HUBUNGAN KERJA
DOSEN PENGASUH :
ANGGUK
LAMIS, SH
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN
KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS
PALANGKA RAYA
FAKULTAS
HUKUM
|
|
Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa atas segala rahmat, berkah, dan Karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Pemutusan Hubungan Kerja”.
Makalah ini disusun agar dapat menambah referensi
pustaka yang berhubungan dengan Pemutusan
Hubungan Kerja dan sebagai salah satu
pemenuhan tugas terstruktur dari mata kuliah Hukum Perburuhan/ Ketenagakerjaan
Saya
mengucapkan
terima kasih kepada semua sumber-sumber media yang telah saya jadikan referensi untuk penyusunan
makalah ini, semoga dapat memberikan terwujudnya generasi masa depan yang lebih
baik. Saya
berharap,
semoga informasi yang ada dalam makalah ini dapat berguna bagi saya khususnya dan bagi para pembaca
pada umumnya.
Saya menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, masih ada kekurangan dan
kesalahannya. Saya
menerima kritik dan saran yang membantu guna penyempurnaan makalah ini.
Palangkaraya, 13 November 2012
P e n u l i s
|
|
KATA PENGANTAR ..................................................................................................................i
DAFTAR ISI .................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................1
1.1
LATAR
BELAKANG.................................................................................1
1.2
RUMUSAN
MASALAH.............................................................................2
1.3
MAKSUD
DAN TUJUAN..........................................................................2
1.4
METODE
PENULISAN..............................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................4
2.1 PENGERTIAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)..................4
2.2 JENIS-JENIS PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
(PHK).....................5
2.3 MEKANISME DAN
PENYELESAIAN PERSELISIHAN PHK...............9
2.4 PENYELESAIAN PERSELISIHAN PHK...............................................10
2.5 KOMPENSASI PHK.................................................................................12
BAB III PENUTUP.............................................................................................................14
3.1
KESIMPULAN..........................................................................................14
3.2
SARAN......................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................15
Halaman
Pengesahan
makasih informasi dan datanya.. hehe
BalasHapus