Selasa, 01 Januari 2013

Etika Administrasi Alam Praktek


B A B   I
P E N D A H U L U A N


1.1            Latar Belakang
Konsep-konsep tentang nilai moral dan etika dalam administrasi pemerintahan dirumuskan untuk diterapkan dalam kehidupan kenegaraan dan lingkup administrasi yang sesungguhnya. Kemanfaatan konsepsi etika tersebut hanya akan terasa apabila ia benar-benar dapat menjadi bagian dari dinamika administrasi modern. Dalam banyak hal, konsep dan teori filosofis mengenai moralitas dalam bidang administrasi negara itu juga berasal dari praktek administrasi sehari-hari. Oleh sebab itu, pembahasan mengenai etika administrasi negara tidak berada dalam ruang hampa, ia harus selalu menyertakan pembahasan tentang aplikasinya, bagaimana para birokrat dan administrator bertindak atau harus bertindak menurut kaidah-kaidah etis yang ada.
Begitu banyak teori maupun konsep yang membahas tentang kaidah normative yang terdapat diantara penguasa negara. Demikian pula konsep-konsep seperti keailan, kedaulatan rakyat, kepentingan umum, norma-norma dan sebagainya. Namun terkadang uraian yang terdapat di dalamnya sangat abstrak sehingga sulit dipahami.

1.2            Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1)      Mengetahui penerapan konsep etika dalam administrasi
2)      Mengetahui asas-asas birokrasi yang baik
3)      Mengetahui implementasi etika dalam praktek
4)      Memenuhi tugas mata kuliah Etika Administrasi





1.3            Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang kami kaji adalm makalah ini adalah tentang Bagaimana Penerapan Etika Administrasi Dalam Prakteknya ?

1.4            Metode Penulisan
Adapun metode penulisan yang kami gunakan dalam penyusunan makalah ini adalah dengan mengumpulkan materi-materi yang berkaitan dengan pokok bahasan, dimana materi-materi tersebut kami dapatkan dari berbagai media seperti, buku-buku rujukan, artikel-artikel, dan melalui media jaringan internet.




B A B   II
P E M B A H A S A N

2.1      Asas-Asas Umum Birokrasi Pemerintahan yang Baik
Merumuskan asas umum pemerintahan yang baik kedalam satu kata adalah upaya yang sangat sulit, dan upaya tersebut hampir mustahil apabila asas tersebut adalah asas untversal di setiap negara di bumi ini. Alasannya sederhana, karena setiap negara memiliki konteks budaya yang berbeda-beda, kebutuhan rakyat pada sewatu-waktu yang selalu berubah, dan masalah yang dihadapi masing-masing negara tentunya berbeda-beda pula.
Tampaklah bahwa perkembangan situasi politik, social, dan budaya serta dinamika masyarakat turut mempengaruhi opini masyarakat tentang system administrasi pemrintah yang ideal. Akan tetapi diatas semua itu sesungguhnya masuh dapat ditemuka dasar-dasar bagi system pemerintahan yang secara umum dianggap sebagai system pemerintahan yang secara umum di anggap sebagai system pemerintahan yang baik. Walaupun interprestasi dan pendapat individual mempengaruhi wujud pemerintahan yang didambakan oleh masyarakat, namun landasan pemikiran yang disepakati oleh sebagian besar masyarakat akan dapat di pakai sebagai pedoman.
2.1.1    Prinsip Demokrasi
Tujuan rakyat dalam membentuk negara ini adalah untuk dipergunakan sebagai sarana guna mencapai cita-cita yang lebih tinggi yang semua itu terkandung dalam tujuan negara. Pilar utama prinsip demokrasi adalah asas kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan rakyat mensyaratkan bahwa rakyatlah yang menentukan kehendak negara, dan rakyat yang akan menentukan pula bagaimana berbuatnya. Maka dalam system pemerintahan yang memakai asas kedaulatan rakyat kepentingan rakyat menempati kedudukan yang paling tinggi.
Seperti yang telah dikemukakan, system pemerintahan dan ketatanegaraan suatu negara dengan negara yang lain jarang sekali yang sepenuhnya sama walaupun asasnya sama yaitu penyelenggaraan system demokrasi dengan jalan perwakilan.
Pada tataran makro, sistem pemerintahan demokratis suatu negara dapat digolongkan kedalam tiga macam bentuk, yakni :
1.       System parlementer
2.       System pemisahan kekuasaan
3.       System referendum
Ajaran trias polotica merupakan landasan pokok dalam system pemisahan kekuasaan. Gagasan utamanya adalah bahwa antara kekuasaan lembaga eksekutif, lembaga legislative, dan lembaga yudikatif harus ada pemisahan penuh. Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh preseden yang dipilih oleh rakyat baik secara langsung maupun melalui perwakilan. Sebagai unsure eksekutif yang benar-benar merupakan kepala pemerintahan, presiden di bantu oleh mentri-mentri yang menjalankan secara langsung tugas-tugas pemerintahan itu. Lembaga perwakilan mempunyai tugas di bidang legislative, yaitu merumuskan peraturan perundangan. Apabila terdapat perselisihan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislative maka, lembaga yudikatif yang akan memutuskannya. Ketiga macam kekuasaan negara itu masing-masing harus dipisahkan dan tidak saling mempengaruhi karena di khawatirkan bahwa jika satu lembaga mempunyai dua atau lebih kekuasaan akan ada penyalahgunaan kekuasaan tersebut.
Kekuasaan legislative dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, kekuasaan eksekutif dipegang oleh presiden dengan para mentri yang tergabung dalam cabinet, dan kekuasaan Yudikatif dipekang oleh Mahkamah Agung bersama segenap jajaran kehakiman. Disamping Indonesia memiliki Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tinggi negara, sebagai perwujudan prinsip demokrasi, asas kedaulatan rakyat dijalankan melalui konsep permusyawaratan-perwakilan.
2.1.2    Keadilan social dan pemerataan
Diantara ketiga sasaran yang termuat dalam trilogy pembangunan, masalah pemerataan pembangunan dan hasil-hasil pembangunann agaknya merupakan masalah yang masih belum terpecahkan. Indicator-indikator ekonomi dalam pembangunan  yang membesarkan hati. Tetapi seiring itu pula muncul persoalan keadilan social sebagai akibat distribusi hasil-hasil pembangunan yang kurang merata. Oleh sebab itu salah satu asas umum pemerintahan dan administrasi pembangunan yang perlu dapat perhatian lebih besar sekarang ini adalah yang menyangkut keadilan dan pemerataan. Kedua konsep ini juga merupakan landasan pokok bagi etika pembangunan dan merupakan ukuran moralitas bagi kebijakan public.
Cita-cita keadilan distributive hanya akan tercapai apabila malalui program-program pembangunannya pemerintah mampu mewujudkan keadilan dan menghindari ketimpangan-ketimpangan social, politik, aupun ekonomis. Dalam lingkup negara, setidak-tidaknya ada dua dimensi kepentingan yang harus diperhatikan. Pertama, kepentingan di antara kelompok-kelompok social yang berbeda dalam suatu negara. Ketimpangan ini terjadi karena kesengajaan  antara pendapatan kelompok kaya dan kelompok miskin. Kedua, ketimpangan antara  wilayah-wilayah geografis dalam suatu negara atau disebut juga ketimpangan regional. Berbagai ukuran yang menunjukkan ketimpangan regional.
Maka yang diperlukan sekarang adalah kebijakan-kebijakan pemerintah yang lebih menyentuh kelas masyarakat yang kurang beruntung atau kelompok yang tidak memiliki sumberdaya untuk mengembangkan dirinya. Kebijakan-kebijakan seperti ini disamping sangat dibutuhkan untuk komunitas pembangunan di masa mendatang ternyata juga mengandung landasan etis dan moral yang kuat bagi para pembuat keputusan itu sendiri.
2.1.3    Mengusahakan Kesejahteraan Umum
Salah satu prasyarat legimitasi kekuasaan negara adalah apabila negara, melalui aktivitas-aktivitas pemerintahan dapat mengusahakan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat. Kewenangan aparatur negara untuk membebankan kewajiban-kewajiban tertentu kepada rakyat yang absah hanya apabila rakyat dapat merasakan peningkatan kesejahteraan yang merata. Oleh karena itu setiap pejabat pemerintah harus memiliki komitmen tersebut bukan semata-mata karena mereka diberi amanat atau dibayar oleh negara melainkan karena mempunyai perhatian yang tulus terhadap kesejahteraan warga negara pada umumnya.
Ada dua elemen kebutuhan pokok yaitu :
1.      Persyaratan-persyaratan minimum keluarga untuk konsumsi sendiri, seperti sandang, pangan dan papan.
2.      Layanan-layanan esensial yang mendasar yang sebagian besar disediakan oleh masyarakat dan untuk masyarakat seperti air minum yang bersih, sanitasi, kendaraan umum, fasilitas jesehatan dan fasilistas pendidikan.
Persoalan lain yang harus dipecahkan dalam upaya peningkatan kesejahteraan umum adalah menyangkut ketenagakerjaan dan kependudukan. Walaupun bidang-bidang pekerjaan baru telah diusahakan untuk dibuka dan diperluas, tingkat pengangguran dan setengah pengangguran masih tinggi.
Meskipun masalah kependudukan dan ketenagakerjaan masih merupakan kendala besar bagi pemerintah, dalam meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Masih banyak masalah-masalah yang mengenai kedua hal tersebut yang masih harus diselesaikan.



2.2            Mewujudkan Negara Hukum
Didalam pembukaan maupun pasal-pasal batang tubuh UUD 1945 memang tidak disebutkan secara eksplisit bahwa indonsesia adalah negara hukum. Akan tetapi sesungguhnya gagasan utama dan aturan-aturan dasar yang melandasi terbentuknya republic ini adalah sesuai dengan cita-cita negara hukum. Ini sejalan dengan pernyataan dalam penjelasan umum UUD 1945 sendiri bahwa untuk menyelidiki hukum dasar suatu negara tidak cukup hanya menyelidiki pasal-pasal undang-undang dasarnya saja, tetapi harus menyelidiki juga bagaumana prakteknya dan suasana kabinetnya dari undang-undang dasar tersebut. Kecuali itu, pada penjelasan mengenai system pemerintahan negara juga telah pula ditegaskan :
1.      Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum, tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka.
2.      System konstitusional, artinya negara berdasa atas hukum dasar tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
Jadi jelas bahwa konstitusi negara Indonesia amat menginginkan untuk mewujudkan negara hukum. Penegasan ini mengandung arti bahwa segenap rakyat bersama-sama dengan aparatur pemerintahan hendak mewujudkan suatu system pemerintahan yang dijalankan menurut kaidah-kaidah hukum.
Aspek pokok bagi terciptanya negara hukum juga berarti ditaatinya Peraturan hukum dalam segenap aktivitas negara atau pemerintah. Unsru-unsur rule of law meliputi :
a.      Keutaaman aturan-aturan tidak hanya kekuasaan yang sewenang-wenang dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau memang melanggar hukum.
b.      Kedudukan yang sama dihadapan hukum. Dalil ini berlaku untuk orang biasa maupun pejabat.
c.       Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang dasr serta keputusan-keputusan pengadilan.
Selanjutnya unsure-unsur rule of law ini dapat dijabarkan kedalam gagasan-gagasan yang lebih elementer, misalnya saja ketentuan mengenai adanya badan kehakiman yang bebas, kebebasan untuk berseikat, berorganisasi dan beroposisi, kebebasan menyatakan pendapat, pemilihan umum yang bebas, dan lain sebagainya.
Apabila system pemerintahan dapat melaksanakan konsep-konsep yang terdapat dalam idealisme  negara hukum, maka control social akan dapat berjalan dengan sendirinya. Yang dimaksud dengan control social adalah penyataan sikap masyarakat baik secara perorangan maupun secara berkelompok yang diwujudkan dalam tingkah laku, lisan atau tulisan sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang diatur dalam konstitusi dengan tujuan untuk mengadakan perbaikan atas tindakan-tindakan pemerintah dalam bidang politik, social, ekonomi, budaya, dan hamkam yang dianggap tidak sesuai dengan konstitusi, rasa keadilan, dan tujuan pembangunan.
Peraturan hukum yang paling relevan dengan kedudukan para pejabat pemerintah adalah undang-undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara atau yang disebut juga dengan Peradilan Administrasi Negara. Undang-undang ini dimaksudkan untuk menghadapi kemungkinan timbulnya perbenturan kepentingan, perselisihan atau sengketa antara badan atau pejabat Tata Usaha Negara dengan warga masyarakat.
Dengan demikian diberlakukannya undang-undang ini, adalah untuk menciptakan aparatur pemerintah yang bersih (clean government) dan menjaga supaya administrasi administrasi negara dapat terlaksana dalam suasana yang tertib berdasarkan hukum selama mereka menjalankan tugas-tugas pemerintah dengan iktikad baik menurut pedoman aturan yang berlaku.

2.3            Dinamika dan Efesiensi
Apabila semua orang mengamati suasana kerja di dalam organisasi-organisasi swasta dan kemudian membandingkannya dengan suasana kerja dalam birokrasi pemerintahan, maka kesan umum yang dirasakan adalah kurangnya dinamika dalam lingkungan kerja birokrasi pemerintah. Kantor-kantor pemerintah memiliki kelompok sasaran yang lebih umum dan lebih luas dibandingkan dengan organisasi swasta. Inilah yang sering menyebabkan bahwa para pejabat atau pegawai dikantor-kantor pemerintah itu kurang bisa menafsirkan secara cepat tugas-tugas yang diberikan kepadanya.
Maka untuk menciptakan sosok birokrasi pemerintahan dan responsive terhadap kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi masyarakat, dinamika dalam melaksanakan tugas-tugas negara merupakan prasyarat yang tidak boleh dilupakan. Tentu saja yang dimaksud dengan dinamika di sini bukanlah perubahan-perubahan prosedur dan aturan yang terlalu sering sehingga keampuan adaptasi organisasi yang lebih baik sehingga ia sanggup mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan dapat melahirkan kebijakan-kebijakan yang tepat.
Masalah-masalah yang dihadapi oleh birokrasi pemerintahan untuk mewujudkan efesiensi masksimal memang begitu kompleks. Selain harus meelihara netralitas diatas kepentingan-kepentingan yang berlainan, birokrasi pemerintah juga harus memecahkan disfungsi birokrasi dalam organisasi yang diakibatkan oleh struktur yang tidak mendukung. Birokrasi mungkin telah diperlengkapi dengan personalia yang professional dengan spesialisasi aturan yang bagus dan aturan yang cukup baik, namun struktur yang mendasarinya terkadang justru tidak rasional. Knott dan Miller mengatakan ada empat macam persoalan yang sering terdapat dalam beirokrasi pemerintah yaitu :
1.      Daur kekakuan aturan
Karena struktur birokrasi yang kurang fleksibel, birokrasi pemerintah cendrung membatasi kapasitas kognitif dari aparat-aparatnya. Birokrat sering ragu-ragu dalam bertindak karena system senioritas dan aturan yang kaku. Sebelum bertindak kebanyakan birokarat menunggu orang lain untuk bertindak dan meyakinkan bahwa dulu apakah tindakan itu dibenarkan menurut prosedur.
2.      Pengalihan Sasaran
Kelemahan menejerial seringkali tidak berhasil memotivasi individu untuk mencapai tujuan-tujuan organisasional. Sebaliknya, system manajerial itu hanya merangsang individu untuk mengikuti aturan-aturan hirarkis dan prosedur-prosedur standard operasi. Itulah sebabnya sasaran atau tujuan organisasi sering bergeser, bukan untuk melaksanakan layanan umum secara efisien melainkan sekadar untuk melestarikan aturan-aturan yang ada.
3.      Kurangnya kapasitas personil yang terlatih
Yang dimaksud dengan kapasitas disini adalah kemampuan personil untuk melihat tugas-tugasnya dalam rangka proses organisasi secara keseluruhan. Dalam birokrasi public terdapat kecendrungan bahwa masing-masing personil melihat masalah dari perspektifnya sendiri, dan menganggap bahwa tidak ada sumbangan personil lain untuk memecahkan masalah tersebut.
4.      System kewenangan berganda
Apabila seorang pakar menentang otoritas hirarkis dari seorang atasan yang awam, yang terjadi seringkali bukan karena dia tidak sepaham dengan atasan tersebut dalam memecahkan masalah tertentu, melainkan karna ia ingin memperlihatkan otoritas professionalnya. Ketidak sepakatan seseorang bawahan terhadap atasannya acapkali sekedar untuk membuktikan kemampuan teknisnya apalagi kalai dia tahu bahwa dia memiliki pengetahuan teknisnya, apalagi kalau dia tahu bahwa dia memiliki pengetahuan teknis yang lebih unggul dibandingkan atasannya itu. Tampak disini adanya perbenturan dalam system kewenangan berganda, antara kewenangan structural dan kewenangan fungsional.





2.4            Administrasi, Nilai-Nilai Yudisial Dan Norma Pengawasan
Pembuatan keputusan merupakan penopang utama kegiatan administrasi. Sebaigan besar proses administrasi berupa serangkaian pemilihan alternative tindakan atau pengambilan keputuasn. Waktu yang tersedia untuk mempertimbangkan keputusan-keputusan tersebut seringkali sangat sempit karena permasalahan yang ada mebutuhkan penaganan segera. Sementara itu pertimbangan efesiensi terkadang tidak memungkinkan bagi para pejabat pemerintah untuk berlama-lama memikirkan akibat dari suatu keputusan atau mencari landasan legalitas dari kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Karena itulah para pejabat pemerintah dituntut untuk mampu menjawab persoalan-persoalan secara pragmatis.
Maka dalam menjalankan tugas-tugasnya para pejabat pemerintah selalu berada ditengah-tengah kontradiksi antara pertimbangan pragmatis dan pertimbangan legalitas. Dia harus ampu menyeimbangkan antrara preferensi pribadi, kemauan membuat undang-undang, serta peraturan-peraturan yang berlaku dalam lembaga tempat ia mengabdi.

2.5            Kearifan dan Kebijakan
Perkembangan konstelasi politik dan ekonomi di Indonesia selama dasawarsa terakhir menampakkan tiga kecendrungan utama. Pertama, meningkatnya kemakmuran dengan semakin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan ekonomi masyarakat. Kedua, meluasnya kekuasaan birokrasi pada setiap jenjang administrasi pemerintah. Dan yang terakhir, meningkatnya kekuatan politis bagi para eksekutif berarti meningkat pula peranan birokrat dan administrator dalam penentuan kebijakan-kebijakan yang menyangkut masyarakat luas. Di sebagian besar negara industry terlihat pula bahwa para eksekutif pemerintah senantiasa menjadi sorotan public berkenaan dengan kebijakan-kebijakan penting yang diambilnya.
Apabila orang mempertanyakan landasan etis bagi kebijakan-kebijakan yang diambil seorang pejabat pemerintah, yang pertama-tama dibicarakan adalah legitimasi kekuatan pemaksa untuk mengatur sebagian dari hak-hak warga negara. Keharusan bagi setiap warga negara untuk mengatur sebagian dari hak-hak warga negara.
Makin tinggi kedudukan seorang pejabat, makin dituntut syarat kearifan itu karena ia akan semakin banyak terlibat dalam bidang manajerial ketimbang teknis. Logikanya ialah bahwa semakin tinggi jawatan seseorang semakin banyak orang lain yang akan dipengaruhi oleh kepurusan-keputusan pejabat tersebut sehingga makin besar resiko ketidak puasan diantara parabawahan atau masyarakat.

2.6            Etos Kerja
Pembicaraan yang berdasar atas filosofis dan sosiologis akan banyak dilibatkan kalau orang membahas tentang etos kerja. Menurut Geertz, etos kerja adalah “sikap yang mendasar terhada diri dan dunia yang dipancarkan hidup”. Artinya etos kerja adalah aspek evaluative, yang bersifat menilai.
Dengan demikian yang dipersoalkan dalam etos kerja adalah kemungkinan-kemungkinan sumber motivasi seseorang dalam berbuat apakah pekerjaan di anggap sebagi keharusan demi hidup, apakah pekerjaan terikat pada identitas diri, atau apakah yang menjadi sumber pendorong partisipasi dalam pembangunan. Etos juga merupakan landasan ide, cita, atau pikiran yang akan menentukan system tindakan. Karena etos kerja menentukan penilaian manusia terhadap suatau pekerjaan maka ia akan menentukan pula hasil-hasilnya. Semakin progresif etos kerja suatu masyarakat, semakin baik hasil-hasil yang akan dicapai baik secara kuantitatif maupun kualitatif.





B A B   III
P E N U T U P

3.1            Kesimpulan
Penerapan etika adminitrasi dalam prakteknya terutama dalam administrasi pemerintahan meiliki banyak aspek-aspek yang harus dijalankan dengan sebaik- baiknya, seperti menjalankan asas-asas birokrasi pemerintahan yang baik, dengan mewujudkan peinsip demokratis, keadilan social dan pemerataan serta mewujudkan kesejahteraan umum.
Berbicara masalah etika tentunya tidak terlepas dari factor sifat individu yang menjalankan kegiatan baik itu dalam berorganisasi maupun kegiatan kesehariannya. Tentunya dalam praktek menerapkan etika administrasi dalam pemerintahan perlu adanya kesadaran dari masing-masing aparat birokrasi untuk benar-benar menjalankan tugas pokok dan fungsinya.
Selain itu dalam upaya penerapan etika administrasi pemerintahan yang baik, perlu adanya aturan-aturan yang dibuat untuk mengatur para birokrat untuk tetap konsisten menjalankan dan mengamalkan etikan yang baik dalam administrasi pemerintah.
Jika dilihat kondisi Indonesia pada saat ini, melalui fakta-fakta yang ada, saat ini masih banyak instansi-instansi pemerintah yang belum mampu menerapkan prinsip etika administrasi yang baik, sekali lagi hal ini tertumpu pada kemauan individu-individu yang berkerja dalam instansi tersebut untuk dapat merubah kebiasaan yang buruk dan mengantinya dengan penerapan etika administrasi yang baik.

3.2            Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat banyak sekali kekurangan dan kelemahan baik dalam segi penulisan, penyusunan maupun materi yang disajikan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna menjadi bahan introveksi penulis dalam membuat makalah-makalah selanjutnya.



D A F T A R    P U S T A K A

1.     Kumorotomo, Wahyudi, Etika Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2001.
2.     Robert C., Solomon. 1987. Etika: Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga.
3.     K. Frankena, William. 1982. Ethics. New Delhi: Prentice-Hall.
4.     H. De Vos. 1987. Pengantar Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana.
5.     Joeniarto, Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara, Bina Aksara, 1984
6.     ILO, Employment, Growth, and Basic Need. Newyork, Preager, 1977
7.     A.V. Dicey, Introduction to the law of the constitution.Dikutip oleh E.C.S Wade.
8.     SF. Marbun, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta,1988
9.     Jeck H. Kontt & G.J. Miller, Reformasi birokrasi dan Peilihan institusi politik. Hlm : 173-175
10.                        Dikutip oleh Taufik Abdulah, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, 1988. Hlm 3





Tidak ada komentar:

Posting Komentar