B A B I
P E N D A H U L U A N
1.1
Latar Belakang
Konsep-konsep tentang nilai moral dan
etika dalam administrasi pemerintahan dirumuskan untuk diterapkan dalam
kehidupan kenegaraan dan lingkup administrasi yang sesungguhnya. Kemanfaatan konsepsi etika tersebut
hanya akan terasa apabila ia benar-benar dapat menjadi bagian dari dinamika
administrasi modern. Dalam banyak hal, konsep dan teori filosofis mengenai
moralitas dalam bidang administrasi negara itu juga berasal dari praktek
administrasi sehari-hari. Oleh sebab itu, pembahasan mengenai etika administrasi negara
tidak berada dalam ruang hampa, ia harus selalu menyertakan pembahasan tentang
aplikasinya, bagaimana para birokrat dan administrator bertindak atau harus
bertindak menurut kaidah-kaidah etis yang ada.
Begitu banyak teori maupun konsep
yang membahas tentang kaidah normative yang terdapat diantara penguasa negara.
Demikian pula konsep-konsep seperti keailan, kedaulatan rakyat, kepentingan
umum, norma-norma dan sebagainya. Namun terkadang uraian yang terdapat di
dalamnya sangat abstrak sehingga sulit dipahami.
1.2
Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah
ini adalah sebagai berikut :
1) Mengetahui
penerapan konsep etika dalam administrasi
2) Mengetahui
asas-asas birokrasi yang baik
3) Mengetahui
implementasi etika dalam praktek
4) Memenuhi
tugas mata kuliah Etika Administrasi
1.3
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang kami kaji
adalm makalah ini adalah tentang Bagaimana Penerapan Etika Administrasi
Dalam Prakteknya ?
1.4
Metode Penulisan
Adapun metode penulisan yang kami
gunakan dalam penyusunan makalah ini adalah dengan mengumpulkan materi-materi
yang berkaitan dengan pokok bahasan, dimana materi-materi tersebut kami
dapatkan dari berbagai media seperti, buku-buku rujukan, artikel-artikel, dan
melalui media jaringan internet.
B A B II
P E M B A H A S A N
2.1 Asas-Asas Umum Birokrasi Pemerintahan yang Baik
Merumuskan asas umum pemerintahan
yang baik kedalam satu kata adalah upaya yang sangat sulit, dan upaya tersebut
hampir mustahil apabila asas tersebut adalah asas untversal di setiap negara di
bumi ini. Alasannya sederhana, karena setiap negara memiliki konteks budaya
yang berbeda-beda, kebutuhan rakyat pada sewatu-waktu yang selalu berubah, dan
masalah yang dihadapi masing-masing negara tentunya berbeda-beda pula.
Tampaklah bahwa perkembangan situasi
politik, social, dan budaya serta dinamika masyarakat turut mempengaruhi opini
masyarakat tentang system administrasi pemrintah yang ideal. Akan tetapi diatas
semua itu sesungguhnya masuh dapat ditemuka dasar-dasar bagi system
pemerintahan yang secara umum dianggap sebagai system pemerintahan yang secara
umum di anggap sebagai system pemerintahan yang baik. Walaupun interprestasi
dan pendapat individual mempengaruhi wujud pemerintahan yang didambakan oleh
masyarakat, namun landasan pemikiran yang disepakati oleh sebagian besar
masyarakat akan dapat di pakai sebagai pedoman.
2.1.1 Prinsip Demokrasi
Tujuan rakyat dalam membentuk negara
ini adalah untuk dipergunakan sebagai sarana guna mencapai cita-cita yang lebih
tinggi yang semua itu terkandung dalam tujuan negara. Pilar utama prinsip
demokrasi adalah asas kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan rakyat mensyaratkan
bahwa rakyatlah yang menentukan kehendak negara, dan rakyat yang akan
menentukan pula bagaimana berbuatnya. Maka dalam system pemerintahan yang
memakai asas kedaulatan rakyat kepentingan rakyat menempati kedudukan yang
paling tinggi.
Seperti yang telah dikemukakan,
system pemerintahan dan ketatanegaraan suatu negara dengan negara yang lain
jarang sekali yang sepenuhnya sama walaupun asasnya sama yaitu penyelenggaraan
system demokrasi dengan jalan perwakilan.
Pada tataran makro, sistem pemerintahan demokratis suatu
negara dapat digolongkan kedalam tiga macam bentuk, yakni :
1.
System
parlementer
2.
System
pemisahan kekuasaan
3.
System
referendum
Ajaran trias polotica merupakan
landasan pokok dalam system pemisahan kekuasaan. Gagasan utamanya adalah bahwa
antara kekuasaan lembaga eksekutif, lembaga legislative, dan lembaga yudikatif
harus ada pemisahan penuh. Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh preseden yang
dipilih oleh rakyat baik secara langsung maupun melalui perwakilan. Sebagai
unsure eksekutif yang benar-benar merupakan kepala pemerintahan, presiden di
bantu oleh mentri-mentri yang menjalankan secara langsung tugas-tugas
pemerintahan itu. Lembaga perwakilan mempunyai tugas di bidang legislative,
yaitu merumuskan peraturan perundangan. Apabila terdapat perselisihan antara
lembaga eksekutif dan lembaga legislative maka, lembaga yudikatif yang akan
memutuskannya. Ketiga macam kekuasaan negara itu masing-masing harus dipisahkan
dan tidak saling mempengaruhi karena di khawatirkan bahwa jika satu lembaga
mempunyai dua atau lebih kekuasaan akan ada penyalahgunaan kekuasaan tersebut.
Kekuasaan legislative dipegang oleh
Dewan Perwakilan Rakyat, kekuasaan eksekutif dipegang oleh presiden dengan para
mentri yang tergabung dalam cabinet, dan kekuasaan Yudikatif dipekang oleh
Mahkamah Agung bersama segenap jajaran kehakiman. Disamping Indonesia memiliki
Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tinggi negara, sebagai
perwujudan prinsip demokrasi, asas kedaulatan rakyat dijalankan melalui konsep
permusyawaratan-perwakilan.
2.1.2 Keadilan social dan pemerataan
Diantara ketiga sasaran yang termuat
dalam trilogy pembangunan, masalah pemerataan pembangunan dan hasil-hasil
pembangunann agaknya merupakan masalah yang masih belum terpecahkan.
Indicator-indikator ekonomi dalam pembangunan yang membesarkan hati.
Tetapi seiring itu pula muncul persoalan keadilan social sebagai akibat
distribusi hasil-hasil pembangunan yang kurang merata. Oleh sebab itu salah
satu asas umum pemerintahan dan administrasi pembangunan yang perlu dapat
perhatian lebih besar sekarang ini adalah yang menyangkut keadilan dan
pemerataan. Kedua konsep ini juga merupakan landasan pokok bagi etika
pembangunan dan merupakan ukuran moralitas bagi kebijakan public.
Cita-cita keadilan distributive hanya
akan tercapai apabila malalui program-program pembangunannya pemerintah mampu
mewujudkan keadilan dan menghindari ketimpangan-ketimpangan social, politik,
aupun ekonomis. Dalam lingkup negara, setidak-tidaknya ada dua dimensi
kepentingan yang harus diperhatikan. Pertama, kepentingan di antara
kelompok-kelompok social yang berbeda dalam suatu negara. Ketimpangan ini
terjadi karena kesengajaan antara pendapatan kelompok kaya dan kelompok
miskin. Kedua, ketimpangan antara
wilayah-wilayah geografis dalam suatu negara atau disebut juga ketimpangan
regional. Berbagai ukuran yang
menunjukkan ketimpangan regional.
Maka yang diperlukan sekarang adalah
kebijakan-kebijakan pemerintah yang lebih menyentuh kelas masyarakat yang
kurang beruntung atau kelompok yang tidak memiliki sumberdaya untuk
mengembangkan dirinya. Kebijakan-kebijakan seperti ini disamping sangat
dibutuhkan untuk komunitas pembangunan di masa mendatang ternyata juga
mengandung landasan etis dan moral yang kuat bagi para pembuat keputusan itu
sendiri.
2.1.3 Mengusahakan Kesejahteraan Umum
Salah satu prasyarat legimitasi
kekuasaan negara adalah apabila negara, melalui aktivitas-aktivitas
pemerintahan dapat mengusahakan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat.
Kewenangan aparatur negara untuk membebankan kewajiban-kewajiban tertentu
kepada rakyat yang absah hanya apabila rakyat dapat merasakan peningkatan
kesejahteraan yang merata. Oleh karena itu setiap pejabat pemerintah harus
memiliki komitmen tersebut bukan semata-mata karena mereka diberi amanat atau
dibayar oleh negara melainkan karena mempunyai perhatian yang tulus terhadap
kesejahteraan warga negara pada umumnya.
1.
Persyaratan-persyaratan
minimum keluarga untuk konsumsi sendiri, seperti sandang, pangan dan papan.
2.
Layanan-layanan
esensial yang mendasar yang sebagian besar disediakan oleh masyarakat dan untuk
masyarakat seperti air minum yang bersih, sanitasi, kendaraan umum, fasilitas
jesehatan dan fasilistas pendidikan.
Persoalan lain yang harus dipecahkan
dalam upaya peningkatan kesejahteraan umum adalah menyangkut ketenagakerjaan
dan kependudukan. Walaupun bidang-bidang pekerjaan baru telah diusahakan untuk
dibuka dan diperluas, tingkat pengangguran dan setengah pengangguran masih
tinggi.
Meskipun masalah kependudukan dan
ketenagakerjaan masih merupakan kendala besar bagi pemerintah, dalam
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Masih banyak
masalah-masalah yang mengenai kedua hal tersebut yang masih harus diselesaikan.
2.2
Mewujudkan Negara Hukum
Didalam pembukaan maupun pasal-pasal
batang tubuh UUD 1945 memang tidak disebutkan secara eksplisit bahwa indonsesia
adalah negara hukum. Akan tetapi sesungguhnya gagasan utama dan aturan-aturan
dasar yang melandasi terbentuknya republic ini adalah sesuai dengan cita-cita
negara hukum. Ini sejalan dengan pernyataan dalam penjelasan umum UUD 1945
sendiri bahwa untuk menyelidiki hukum dasar suatu negara tidak cukup hanya
menyelidiki pasal-pasal undang-undang dasarnya saja, tetapi harus menyelidiki
juga bagaumana prakteknya dan suasana kabinetnya dari undang-undang dasar
tersebut. Kecuali itu, pada penjelasan mengenai system pemerintahan negara juga
telah pula ditegaskan :
1.
Indonesia
ialah negara yang berdasar atas hukum, tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka.
2.
System
konstitusional, artinya negara berdasa atas hukum dasar tidak bersifat
absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
Jadi jelas bahwa konstitusi negara
Indonesia amat menginginkan untuk mewujudkan negara hukum. Penegasan ini
mengandung arti bahwa segenap rakyat bersama-sama dengan aparatur pemerintahan
hendak mewujudkan suatu system pemerintahan yang dijalankan menurut
kaidah-kaidah hukum.
Aspek pokok bagi terciptanya negara
hukum juga berarti ditaatinya Peraturan hukum dalam segenap aktivitas negara
atau pemerintah. Unsru-unsur rule of law meliputi :
a.
Keutaaman
aturan-aturan tidak hanya kekuasaan yang sewenang-wenang dalam arti bahwa
seseorang hanya boleh dihukum kalau memang melanggar hukum.
b.
Kedudukan
yang sama dihadapan hukum. Dalil ini berlaku untuk orang biasa maupun pejabat.
c.
Terjaminnya
hak-hak asasi manusia oleh undang-undang dasr serta keputusan-keputusan
pengadilan.
Selanjutnya unsure-unsur rule of law
ini dapat dijabarkan kedalam gagasan-gagasan yang lebih elementer, misalnya
saja ketentuan mengenai adanya badan kehakiman yang bebas, kebebasan untuk
berseikat, berorganisasi dan beroposisi, kebebasan menyatakan pendapat,
pemilihan umum yang bebas, dan lain sebagainya.
Apabila system pemerintahan dapat
melaksanakan konsep-konsep yang terdapat dalam idealisme negara hukum,
maka control social akan dapat berjalan dengan sendirinya. Yang dimaksud dengan
control social adalah penyataan sikap masyarakat baik secara perorangan maupun
secara berkelompok yang diwujudkan dalam tingkah laku, lisan atau tulisan
sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang diatur dalam konstitusi dengan tujuan
untuk mengadakan perbaikan atas tindakan-tindakan pemerintah dalam bidang
politik, social, ekonomi, budaya, dan hamkam yang dianggap tidak sesuai dengan
konstitusi, rasa keadilan, dan tujuan pembangunan.
Peraturan hukum yang paling relevan
dengan kedudukan para pejabat pemerintah adalah undang-undang No. 5 tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara atau yang disebut juga dengan Peradilan
Administrasi Negara. Undang-undang ini dimaksudkan untuk menghadapi kemungkinan
timbulnya perbenturan kepentingan, perselisihan atau sengketa antara badan atau
pejabat Tata Usaha Negara dengan warga masyarakat.
Dengan demikian diberlakukannya
undang-undang ini, adalah untuk menciptakan aparatur pemerintah yang bersih (clean
government) dan menjaga supaya administrasi administrasi negara dapat
terlaksana dalam suasana yang tertib berdasarkan hukum selama mereka
menjalankan tugas-tugas pemerintah dengan iktikad baik menurut pedoman aturan
yang berlaku.
2.3
Dinamika dan Efesiensi
Apabila semua orang mengamati suasana
kerja di dalam organisasi-organisasi swasta dan kemudian membandingkannya
dengan suasana kerja dalam birokrasi pemerintahan, maka kesan umum yang
dirasakan adalah kurangnya dinamika dalam lingkungan kerja birokrasi
pemerintah. Kantor-kantor pemerintah memiliki kelompok sasaran yang lebih umum
dan lebih luas dibandingkan dengan organisasi swasta. Inilah yang sering
menyebabkan bahwa para pejabat atau pegawai dikantor-kantor pemerintah itu
kurang bisa menafsirkan secara cepat tugas-tugas yang diberikan kepadanya.
Maka untuk menciptakan sosok
birokrasi pemerintahan dan responsive terhadap kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi
masyarakat, dinamika dalam melaksanakan tugas-tugas negara merupakan prasyarat
yang tidak boleh dilupakan. Tentu saja yang dimaksud dengan dinamika di sini
bukanlah perubahan-perubahan prosedur dan aturan yang terlalu sering sehingga
keampuan adaptasi organisasi yang lebih baik sehingga ia sanggup mengantisipasi
perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan dapat melahirkan kebijakan-kebijakan
yang tepat.
Masalah-masalah yang dihadapi oleh
birokrasi pemerintahan untuk mewujudkan efesiensi masksimal memang begitu
kompleks. Selain harus meelihara netralitas diatas kepentingan-kepentingan yang
berlainan, birokrasi pemerintah juga harus memecahkan disfungsi birokrasi dalam
organisasi yang diakibatkan oleh struktur yang tidak mendukung. Birokrasi
mungkin telah diperlengkapi dengan personalia yang professional dengan
spesialisasi aturan yang bagus dan aturan yang cukup baik, namun struktur yang
mendasarinya terkadang justru tidak rasional. Knott dan Miller mengatakan ada
empat macam persoalan yang sering terdapat dalam beirokrasi pemerintah yaitu :
1.
Daur
kekakuan aturan
Karena struktur birokrasi yang kurang
fleksibel, birokrasi pemerintah cendrung membatasi kapasitas kognitif dari
aparat-aparatnya. Birokrat sering ragu-ragu dalam bertindak karena system
senioritas dan aturan yang kaku. Sebelum bertindak kebanyakan birokarat
menunggu orang lain untuk bertindak dan meyakinkan bahwa dulu apakah tindakan
itu dibenarkan menurut prosedur.
2.
Pengalihan
Sasaran
Kelemahan menejerial seringkali tidak
berhasil memotivasi individu untuk mencapai tujuan-tujuan organisasional.
Sebaliknya, system manajerial itu hanya merangsang individu untuk mengikuti aturan-aturan
hirarkis dan prosedur-prosedur standard operasi. Itulah sebabnya sasaran atau
tujuan organisasi sering bergeser, bukan untuk melaksanakan layanan umum secara
efisien melainkan sekadar untuk melestarikan aturan-aturan yang ada.
3.
Kurangnya
kapasitas personil yang terlatih
Yang dimaksud dengan kapasitas disini
adalah kemampuan personil untuk melihat tugas-tugasnya dalam rangka proses
organisasi secara keseluruhan. Dalam birokrasi public terdapat kecendrungan
bahwa masing-masing personil melihat masalah dari perspektifnya sendiri, dan
menganggap bahwa tidak ada sumbangan personil lain untuk memecahkan masalah
tersebut.
4.
System
kewenangan berganda
Apabila seorang pakar menentang
otoritas hirarkis dari seorang atasan yang awam, yang terjadi seringkali bukan
karena dia tidak sepaham dengan atasan tersebut dalam memecahkan masalah
tertentu, melainkan karna ia ingin memperlihatkan otoritas professionalnya.
Ketidak sepakatan seseorang bawahan terhadap atasannya acapkali sekedar untuk
membuktikan kemampuan teknisnya apalagi kalai dia tahu bahwa dia memiliki
pengetahuan teknisnya, apalagi kalau dia tahu bahwa dia memiliki pengetahuan
teknis yang lebih unggul dibandingkan atasannya itu. Tampak disini adanya
perbenturan dalam system kewenangan berganda, antara kewenangan structural dan
kewenangan fungsional.
2.4
Administrasi, Nilai-Nilai Yudisial
Dan Norma Pengawasan
Pembuatan keputusan merupakan
penopang utama kegiatan administrasi. Sebaigan besar proses administrasi berupa
serangkaian pemilihan alternative tindakan atau pengambilan keputuasn. Waktu
yang tersedia untuk mempertimbangkan keputusan-keputusan tersebut seringkali
sangat sempit karena permasalahan yang ada mebutuhkan penaganan segera.
Sementara itu pertimbangan efesiensi terkadang tidak memungkinkan bagi para
pejabat pemerintah untuk berlama-lama memikirkan akibat dari suatu keputusan
atau mencari landasan legalitas dari kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Karena
itulah para pejabat pemerintah dituntut untuk mampu menjawab
persoalan-persoalan secara pragmatis.
Maka dalam menjalankan tugas-tugasnya
para pejabat pemerintah selalu berada ditengah-tengah kontradiksi antara
pertimbangan pragmatis dan pertimbangan legalitas. Dia harus ampu
menyeimbangkan antrara preferensi pribadi, kemauan membuat undang-undang, serta
peraturan-peraturan yang berlaku dalam lembaga tempat ia mengabdi.
2.5
Kearifan dan Kebijakan
Perkembangan konstelasi politik dan
ekonomi di Indonesia selama dasawarsa terakhir menampakkan tiga kecendrungan
utama. Pertama, meningkatnya kemakmuran dengan semakin terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan ekonomi masyarakat. Kedua, meluasnya kekuasaan birokrasi
pada setiap jenjang administrasi pemerintah. Dan yang terakhir, meningkatnya
kekuatan politis bagi para eksekutif berarti meningkat pula peranan birokrat
dan administrator dalam penentuan kebijakan-kebijakan yang menyangkut
masyarakat luas. Di sebagian besar negara industry terlihat pula bahwa para
eksekutif pemerintah senantiasa menjadi sorotan public berkenaan dengan
kebijakan-kebijakan penting yang diambilnya.
Apabila orang mempertanyakan landasan
etis bagi kebijakan-kebijakan yang diambil seorang pejabat pemerintah, yang
pertama-tama dibicarakan adalah legitimasi kekuatan pemaksa untuk mengatur
sebagian dari hak-hak warga negara. Keharusan bagi setiap warga negara untuk
mengatur sebagian dari hak-hak warga negara.
Makin tinggi kedudukan seorang
pejabat, makin dituntut syarat kearifan itu karena ia akan semakin banyak
terlibat dalam bidang manajerial ketimbang teknis. Logikanya ialah bahwa
semakin tinggi jawatan seseorang semakin banyak orang lain yang akan
dipengaruhi oleh kepurusan-keputusan pejabat tersebut sehingga makin besar
resiko ketidak puasan diantara parabawahan atau masyarakat.
2.6
Etos Kerja
Pembicaraan yang berdasar atas
filosofis dan sosiologis akan banyak dilibatkan kalau orang membahas tentang
etos kerja. Menurut Geertz, etos kerja adalah “sikap yang mendasar terhada diri dan dunia
yang dipancarkan hidup”. Artinya etos kerja adalah aspek evaluative, yang
bersifat menilai.
Dengan demikian yang dipersoalkan
dalam etos kerja adalah kemungkinan-kemungkinan sumber motivasi seseorang dalam
berbuat apakah pekerjaan di anggap sebagi keharusan demi hidup, apakah
pekerjaan terikat pada identitas diri, atau apakah yang menjadi sumber
pendorong partisipasi dalam pembangunan. Etos juga merupakan landasan ide,
cita, atau pikiran yang akan menentukan system tindakan. Karena etos kerja
menentukan penilaian manusia terhadap suatau pekerjaan maka ia akan menentukan
pula hasil-hasilnya. Semakin progresif etos kerja suatu masyarakat, semakin
baik hasil-hasil yang akan dicapai baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
B A B III
P E N U T U P
3.1
Kesimpulan
Penerapan etika adminitrasi dalam
prakteknya terutama dalam administrasi pemerintahan meiliki banyak aspek-aspek
yang harus dijalankan dengan sebaik- baiknya, seperti menjalankan asas-asas
birokrasi pemerintahan yang baik, dengan mewujudkan peinsip demokratis,
keadilan social dan pemerataan serta mewujudkan kesejahteraan umum.
Berbicara masalah etika tentunya
tidak terlepas dari factor sifat individu yang menjalankan kegiatan baik itu
dalam berorganisasi maupun kegiatan kesehariannya. Tentunya dalam praktek
menerapkan etika administrasi dalam pemerintahan perlu adanya kesadaran dari
masing-masing aparat birokrasi untuk benar-benar menjalankan tugas pokok dan
fungsinya.
Selain itu dalam upaya penerapan
etika administrasi pemerintahan yang baik, perlu adanya aturan-aturan yang
dibuat untuk mengatur para birokrat untuk tetap konsisten menjalankan dan
mengamalkan etikan yang baik dalam administrasi pemerintah.
Jika dilihat kondisi Indonesia pada
saat ini, melalui fakta-fakta yang ada, saat ini masih banyak instansi-instansi
pemerintah yang belum mampu menerapkan prinsip etika administrasi yang baik,
sekali lagi hal ini tertumpu pada kemauan individu-individu yang berkerja dalam
instansi tersebut untuk dapat merubah kebiasaan yang buruk dan mengantinya
dengan penerapan etika administrasi yang baik.
3.2
Saran
Penulis
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat banyak sekali kekurangan
dan kelemahan baik dalam segi penulisan, penyusunan maupun materi yang
disajikan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna
menjadi bahan introveksi penulis dalam membuat makalah-makalah selanjutnya.
D A F T A R P U S T A K A
1. Kumorotomo, Wahyudi, Etika
Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2001.
2. Robert C., Solomon. 1987. Etika:
Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga.
3. K. Frankena, William. 1982. Ethics.
New Delhi: Prentice-Hall.
4. H. De Vos. 1987. Pengantar Etika.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
5. Joeniarto, Demokrasi dan Sistem
Pemerintahan Negara, Bina Aksara, 1984
6. ILO, Employment, Growth, and Basic
Need. Newyork, Preager, 1977
7. A.V. Dicey, Introduction to the
law of the constitution.Dikutip oleh E.C.S Wade.
8. SF. Marbun, Peradilan Tata Usaha
Negara, Liberty, Yogyakarta,1988
9. Jeck H. Kontt & G.J. Miller, Reformasi
birokrasi dan Peilihan institusi politik. Hlm : 173-175
Tidak ada komentar:
Posting Komentar